Translate

Jumat, 17 Agustus 2012

What is Canang ?


Canang adalah upakara yang sangat sering digunakan dalam kehidupan beragama umat hindu khususnya di Bali. Hampir setiap hari dapat kita jumpai adanya umat yang menghaturkan canang sebagai wujud bhakti dan syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Walaupun bentuk dan ukuranya kecil, canang memiliki peranan yang sangat penting, sehingga canang juga disebut Kanista atau inti dari upakara. Sebesar apapun upakara tersebut maka tidak akan menjadi lengkap kalau tidak diisi dengan canang.
            Canang terdiri dari dua suku kata yang berbahasa kawi yaitu "ca" yang berarti indah dan "nang" yang berarti tujuan. Jadi canang adalah sebuah sarana dalam bahasa Weda yang bertujuan untuk memohon keindahan (sundharam) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam ajaran agama Hindu di Bali, canang mempunyai beberapa bentuk dan fungsi sesuai dengan kegiatan upacara yang diadakan. Canang adalah sebuah penjabaran nilai - nilai Weda yang disimboliskan melalui unsur - unsur yang terdapat di dalam Canang, antara lain :

1. Ceper
 Canang yang dialasi oleh ceper sebagai simbol Ardha Candra, sedangkan canang yang dialasi oleh tamas kecil adalah simbol dari Windhu

2. Porosan
 Didalam canang terdapat sebuah porosan sebagai simbol silih asih, yang mempunyai makna bahwa setiap umat harus mempunyai hati (posros) yang berisikan cinta kasih dan welas asih serta rasa syukur yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa

3. Jajan, Tebu dan Pisang
 Didalam ceper berisikan jajan, tebu dan pisang sebagai simbol dari Tedong Ongkara yang melambangkan kekuatan Upetti, Stiti dan Pralinan dalam kehidupan di alam semesta

4. Sampan Urasari
 Diatas raka - raka tadi disusunkan sebuah sampian urasari (di beberapa daerah disebut Duras) yang melambangkan kekuatan Windhu dan ujung - unjung sampian tersebut merupakan perlambangan Nadha

5. Bunga
 Diatas sampian urasari disusunkan anekan bunga dengan susunkan sebagai berikut :
 Bunga berwarna Putih disususnkan di Timur sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Iswara
 Bunga berwarna Merah disusunkan di Selatan sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Brahma
 Bunga berwarna Kuning disusunkan di Barat sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Mahadewa
 Bunga berwarna Biru atau Hijau disusunkan di Utara sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Wisnu
 Kembang Rampai disusunkan ditengah - tengah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Panca Dewata
          Dengan demikian Canang mempunyai makna sebagai sarana permohonan umat Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi (berwujud Ogkara) dan memohon kekuatan beliau dalam manifestasi Sang Hyang Ista Dewata


Jenis-jenis Canang :

Canang Genten

Sebagai alas dapat digunakan taledan, ceper ataupun daun pisang yang berbentuk segi empat. Diatasnya berturut-turut disusun perlengkapan yang lain seperti: bunga dan daun-daunan, porosan yang terdiri dari satu/dua potong sirih diisi sedikit kapur dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong janur, sedangkan bunganya dialasi dengan janur yang berbentuk tangkih atau kojong. Kojong dengan bentuk bundar disebut "uras-sari".

Bila keadaan memungkinkan dapat pula ditambahkan dengan pandan-arum, wangi-wangian dan sesari (uang). Waulupun perlengkapan banten ini sangat sederhana, tetapi hampir semuanya mempunyai arti simbolis antara lain: jejaitan/tetuwasan reringgitan, melambangkan kesungguhan hati, daun-daunan melambangkan ketenangan hati. Sirih, melambangkan dewa wisnu, kapur melambangkan dewa siva, pinang melambangkan dewa brahma, suci bersih, dan wangi-wangian sebagai alat untuk menenangkan pikiran kearah kesegaran dan kesucian.

Canang ini, baik besar maupun kecil bahkan selalu digunakan untuk melengkapi sesajen-sesajen yang lain, hanya saja bentuk alat serta porosannya berbeda-beda. \

Canang Buratwangi

Bentuk banten ini seperti canang genten dengan ditambahkan "burat wangi" dan dua jenis "lenga wangi". Ketiga perlengkapan tersebut masing-masing dialasi kojong atau tangkih. Burat wangi dibuat dari beras dan kunir yang dihaluskan dicampur dengan air cendana atau mejegau. Ada kalanya dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lenga Wangi ( minyak wangi) yang berwarna putih dibuat dari menyan, 'malem" ( sejenis lemak pada sarang lebah), dicampur dengan minyak kelapa. Lenga wangi (minyak wangi) yang berwarna kehitam-hitaman dibuat dari minyak kelapa dicampur dengan kacang putih, komang yang digoreng sampai gosong lalu dihaluskan.

Ada kalanya campuran tersebut dilengkapi dengan ubi dan keladi (talas), yang juga digoreng sampai gosong. Biasanya untuk memperoleh campuran yang baik, terlebih dahulu minyak kelapa dipanaskan, kemudian barulah dicampur dengan perlengkapan lainnya. Secara keseluruhan "lenga-wangi" dan "burat-wangi" melambangkan Hyang Sambhu. Menyan melambangkan Hyang Siva, Majegau melambangkan Hyang Sadasiva sedang cendana melambangkan Hyang Paramasiva.

Banten ini dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti pada hari Purnama, Tilem, hari raya Saraswati dan melengkapi sesajen-sesajen yang lebih besar.

Canang Sari

Bentuk banten ini agak berbeda dengan banten/canang genten sebelumnya, yaitu dibagi menjadi dua bagian. Bagian bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun segiempat seperti ceper atau taledan. Sering pula diberi hiasan "Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini terdapat pelawa, porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan dari tepung beras), pisang emas atau yang sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih. Dapat pula ditambah dengan burat wangi dan lengawangi seperti pada canang buratwangi. Di atasnya barulah diisi bermacam-macam bunga diatur seindah mungkin dialasi dengan sebuah "uras sari/sampian uras".

Canang sari dilengkapi dengan sesari berupa uang kertas, uang logam maupun uang kepeng. Perlengkapan seperti tebu, kekiping, dan pisang emas disebut "raka-raka". Raka-raka melambangkan Hyang Widyadhara-Widyadhari. Pisang emas melambangkan Mahadewa, secara umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara, sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma.

Canang sari dipergunakan untuk melengkapi persembahan lainnya atau dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti: Kliwon, Purnama, Tilem atau persembahyangan di tempat suci.

Canang Pesucian

Canang ini disebut juga canang pengeraos yang terdiri atas dua buah aled atau ceper. Pada bagian bawah berisi kapur, pinang, gambir, tembakau yang dialasi dengan kojong. disusuni beberapa lembar daun sirih, sedangkan aled atau ceper yang lain berisi bija serta minyak wangi yang dialasi celemik atau kapu-kapu kemudian dilengkapi bunga yang harum.


Canang Meraka

Sebagai alas dari canang ini digunakan ceper atau tamas, diatasnya diisi tebu, pisang, buah-buahan, beberapa jenis jajan dan sebuah "sampian" disebut "Srikakili" dibuat dari janur berbentuk kojong diisi plawa, porosan serta bunga. Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis canang tubungan, Canang Gantal, Canang Yasa. Canang pengraos dan lain-lain.

Pada umumnya bahan yang diperlukan hampir sama, hanya bentuk porosan dan cara pengaturannya yang berbeda. Rupanya pemakaian sirih, kapur dan pinang mempunyai dua fungsi sebagai simbul atau lambang yaitu:
- Sirih melambangkan Dewa Wisnu
- Pinang melambangkan Dewa Brahma
- Kapur melambangkan Dewa Siwa

Untuk persembahan biasa berfungsi sebagai makanan, dalam hal ini penggunaannya dilengkapi dengan tembakau dan gambir.




Pura Tanah Lot

'Tanah Lot' adalah sebuah objek wisata di Bali, Indonesia. Di sini ada dua pura yang terletak di atas batu besar. Satu terletak di atas bongkahan batu dan satunya terletak di atas tebing mirip dengan Pura Uluwatu. Pura Tanah Lot ini merupakan bagian dari pura Dang Kahyangan. Pura Tanah Lot merupakan pura laut tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut.



Legenda
Menurut legenda, pura ini dibangun oleh seorang brahmana yang mengembara dari Jawa. Ia adalah Danghyang Nirartha yang berhasil menguatkan kepercayaan penduduk Bali akan ajaran Hindu dan membangun Sad Kahyangan tersebut pada abad ke-16. Pada saat itu penguasa Tanah Lot, Bendesa Beraben, iri terhadap beliau karena para pengikutnya mulai meninggalkannya dan mengikuti Danghyang Nirartha. Bendesa Beraben menyuruh Danghyang Nirartha untuk meninggalkan Tanah Lot. Ia menyanggupi dan sebelum meninggalkan Tanah Lot beliau dengan kekuatannya memindahkan Bongkahan Batu ke tengah pantai (bukan ke tengah laut) dan membangun pura di sana. Ia juga mengubah selendangnya menjadi ular penjaga pura. Ular ini masih ada sampai sekarang dan secara ilmiah ular ini termasuk jenis ular laut yang mempunyai ciri-ciri berekor pipih seperti ikan, warna hitam berbelang kuning dan mempunyai racun 3 kali lebih kuat dari ular cobra. Akhir dari legenda menyebutkan bahwa Bendesa Beraben 'akhirnya' menjadi pengikut Danghyang Nirartha.

Lokasi
Obyek wisata tanah lot terletak di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan, sekitar 13 km barat Tabanan. Disebelah utara Pure Tanah Lot terdapat sebuah pura yang terletak di atas tebing yang menjorok ke laut. Tebing ini menghubungkan pura dengan daratan dan berbentuk seperti jembatan (melengkung). Tanah Lot terkenal sebagai tempat yang indah untuk melihat matahari terbenam (sunset), turis-turis biasanya ramai pada sore hari untuk melihat keindahan sunset di sini.
Hari Raya
Odalan atau hari raya di Pura ini diperingati setiap 210 hari sekali, sama seperti pura-pura yang lain. Jatuhnya dekat dengan perayaan Galungan dan Kuningan yaitu tepatnya pada Hari Suci Buda Cemeng Langkir. Saat itu, orang yang sembahyang akan ramai bersembahyang di Pura Ini.

Kamis, 16 Agustus 2012

Apa itu Kulkul Bali ?

 Kulkul adalah alat komunikasi tradisional masyarakat Bali, berupa alat bunyian yang umumnya terbuat dari kayu atau bambu, dan benda peninggalan para leluhur. Di setiap organisasi tradisional di Bali, terdapat setidaknya sebuah kulkul. Selain di Bali, Kulkul yang lazimnya disebut dengan kentongan, terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia. Untuk itu, kulkul dijadikan alat komunikasi tradisional oleh masyarakat Indonesia.





Sejarah

Pada zaman Jawa-Hindu, kulkul disebut ’Slit-drum’ yaitu berupa tabuhan dengan lubang memanjang yang terbuat dari bahan perunggu. Pada masyarakat Bali, istilah kulkul ditemukan dalam syair Jawa-Hindu Sufamala. Beberapa lontar Bali, juga menyebutkan keberadaan kulkul seperti Awig-awig Desa Sarwaada, MarkaNdeya Purana, dan Diwa Karma. Keempat naskah kuno Bali ini, mengungkapkan pentingnya kayu, yang bermakna pikiran dalam kehidupan manusia, yang biasa disebut dengan kulkul. Kayu adalah bahan dasar dari kulkul yang erat hubungannya dengan manusia. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, kulkul lebih dikenal dengan nama ’Tongtong’.

Pembuatan

Ritual pembuatan

Untuk menyebutkan suatu keadaan, umat Hindu Bali menggunakan istilah "ala ayuning dewasa" artinya dewasa yang baik dan dewasa yang kurang baik. Kedua hal ini sulit dipisahkan bahkan selalu berdampingan. Demikian pula dalam pembuatan sebuah kulkul dari kayu biasa menjadi sebuah alat bunyian bernilai sakral dan keramat, harus mengalami pemrosesan yang cukup panjang. Dimulai dari mencari bahan, menebang kayu sampai kepada proses pembuatannya harus melalui serentetan upacara. Para pembuat kulkul harus melakukan tahap-tahap upacara guna mencari dewasa yang baik dan menghindari dewasa yang kurang baik, dari awal hingga akhir pembuatan kulkul. Sampai kepada tahap melepaskan sebuah kulkul juga harus melalui sebuah upacara. Apabila tahapan upacara sudah dilaksanakan maka kulkul telah memiliki kekuatan magis dan dianggap sebagai benda suci serta keramat.
Bagi masyarakat Bali, kulkul mempunyai nilai yang sakral. Nilai sakral sebuah kulkul ini didukung sepenuhnya oleh agama Hindu Bali yang diyakini masyarakat Bali secara umum. Nilai sakral tersebut terutama berada pada kulkul yang tersimpan di Pura-pura besar di Bali yang dianggap sebagai wujud nyata beryadnya sehingga apabila terjadi penyimpangan dalam penggunaannya maka segera upacara penyucian dilakukan. Oleh karena itu kulkul diletakkan pada sebuah bangunan yang disebut ’Bale Kulkul’, tepatnya digantungkan pada sudut depan pekarangan pura atau banjar.

Teknik pembuatan

Secara teknis, kulkul terbuat dari seruas bambu berukuran cukup besar, yang mana kedua belah buku ruasnya dilubangi, dan sepanjang badan bambu itu dibuat lubang memanjang. Adakalanya kulkul dibuat dengan dua alur lubang yang sejajar, satu lubang besar, dan satu lubang yang lebih kecil. Ada pula yang terbuat dari dari potongan kayu, panjangnya kira-kira satu sampai dua meter, dikorek pula sepanjang badannya untuk membuat lubang memanjang, dan bagian dalamnya dibuat menggerongong. Kedua ujungnya ditutup atau tertutup oleh karena pengorekan bagian dalam kayu tersebut dijaga agar tidak sampai menembus kedua bagian ujungnya.

Fungsi

Kulkul mempunyai fungsi yang berkaitan erat dengan kegiatan banjar. Berikut merupakan beberapa fungsi dari kulkul:
  • Tanda Pertemuan Rutin
Masyarakat Bali biasanya melakukan pertemuan rutin sebulan sekali pada setiap banjar. Menjelang hari pertemuan, terlebih dahulu kulkul dipukul dengan sebuah alat pemukul dari kayu. Suara kulkul akan terdengar sampai ke pelosok banjar. Suara tersebut merupakan panggilan kepada warga untuk segera berkumpul di tempat yang sudah disepakati bersama.
  • Tanda Pengerahan Tenaga Kerja
Selain sebagai tanda pertemuan, bunyi kulkul juga mengandung arti untuk pengerahan tenaga kerja. Pengerahan tenaga kerja tersebut ada yang sudah direncanakan, dan ada pula yang sifatnya mendadak. Bentuk pengerahan tenaga kerja yang sudah direncanakan contohnya gotong royong membersihkan desa, mempersiapkan upacara di pura bagi masyarakat Bali, dan mencuci barang-barang suci. Pengerahan warga diawali dengan terdengarnya suara kulkul. Segera, setelah warga berkumpul, mereka secara bersama-sama melakukan aktivitas membersihkan desa. Sedangkan contoh pengerahan tenaga kerja yang sifatnya mendadak, umumnya seperti menanggulangi kejadian yang tiba-tiba menimpa banjar. Kejadian itu dapat berupa kebakaran, banjir, orang mengamuk, dan pencuri. Bunyi kulkul terdengar cepat dan panjang sekaligus sebagai isyarat supaya warga segera datang atau berjaga-jaga karena ada bahaya mengancam.
  • Tanda Gejala Alam
Di samping sebagai tanda pertemuan rutin dan pengerahan tenaga kerja, kulkul seringkali digunakan ketika terjadi gejala alam seperti gerhana bulan yang akan disambut oleh seluruh banjar. Masyarakat Bali berkeyakinan bahwa gerhana bulan terjadi karena bulan dimangsa oleh Kalarau. Bunyi kulkul yang menggema di seluruh Bali akan menghilangkan konsentrasi Kalarau, sehingga ia akan melepaskan bulan kembali.

Jenis

Ada empat jenis kulkul yang dikenal oleh masyarakat Bali yaitu Kulkul Dewa, Kulkul Bhuta, Kulkul Manusia, dan Kulkul Hiasan.
  • Kulkul Dewa
Kulkul Dewa adalah kulkul yang digunakan saat upacara Dewa Yadnya. Kulkul Dewa dibunyikan ketika memanggil para dewa. Ritme yang dibunyikan sangat lambat dengan dua nada yaitu ‘tung.... tit.... tung.... tit.... tung.... tit’ dan seterusnya.
  • Kulkul Bhuta
Kulkul Bhuta adalah kulkul yang digunakan saat upacara Bhuta Yadnya. Kulkul Bhuta dibunyikan apabila akan memanggil para Bhuta Kala guna menetralisir alam semesta sehingga keadaan alam menjadi aman dan tenteram.
  • Kulkul Manusa
Kulkul Manusa adalah kulkul yang digunakan untuk kegiatan manusia, baik itu rutin maupun mendadak. Kulkul Manusa terbagi atas tiga jenis yaitu Kulkul Tempekan, Kulkul Sekeha-sekeha, dan Kulkul Siskamling. Bunyi ritme kulkul manusa untuk kegiatan yang rutin ialah lambat dan pendek, sedangkan pada kegiatan mandadak, terdengar cepat dan panjang.
  • Kulkul Hiasan
Diberi nama kulkul hiasan karena kulkul ini diberi hiasan-hiasan untuk menambah keindahannya. Biasanya kulkul ini sering dijadikan oleh-oleh atau buah tangan. Para wisatawan yang datang ke pulau Bali menganggap kulkul sebagai sebuah barang antik.

Peranan

Hampir seluruh kegiatan yang dilakukan masyarakat Bali mengikutsertakan kulkul. Bahkan, dalam upacara pemanggilan para Dewa, dimulai dengan membunyikan alat ini. Kulkul juga hampir selalu hadir dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Dalam acara pagelaran atau pertunjukan seni, mulai dari pertunjukkan Gamelan Anyar, Tektekan, sampai pada seni Karawitan, semuanya menggunakan kulkul sebagai pelengkap dari pertunjukan tersebut. Selanjutnya, kulkul juga digunakan dalam upacara-upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Salah satu upacara adat tersebut seperti upacara mesabatan biu atau yang dikenal pula dengan perang pisang, yaitu upacara untuk menunjukkan seorang pemuda telah memasuki usia akil balig dan telah menjadi dewasa. Selain itu, kulkul kerap kali digunakan dalam tradisi-tradisi masyarakat Bali, contohnya dalam tradisi ngoncang. Tradisi ngoncang merupakan tradisi memukul kulkul (kentongan) bambu keliling desa. Tujuan dari ritual 'ngoncang' adalah memanggil para leluhur yang telah diaben. Tradisi ngoncang ini merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh para krama desa. Tradisi ini memakai sarana kentongan atau kulkul bambu dan dipukul sesuai irama yang telah diatur oleh anggota sekaa ngoncang. Belakangan, kulkul juga selalu hadir dalam setiap pembukaan atau peresmian acara, dan digunakan sebagai simbol bahwa acara tersebut telah resmi dibuka.
Jadi, sebuah kulkul dapat dikatakan bukan saja merupakan alat tradisional, melainkan suatu media komunikasi tradisional yang menjembatani komunikasi masyarakat Bali, baik antara manusia dengan Dewa, manusia dengan penguasa alam, maupun manusia dengan sesamanya. Selain itu, kulkul juga diyakini mampu membentuk rasa persatuan dan kesatuan di dalam kehidupan masyarakat Bali. Dengan demikian, peranan kulkul sebagai media komunikasi tradisional masyarakat Bali sangatlah besar. Kulkul berperan untuk menyampaikan simbol-simbol atau kode-kode yang dapat dimaknai secara langsung seperti ritme pukulan maupun nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya, seperti rasa persatuan dan kesatuan, kepada seluruh masyarakat Bali.